HK News

Foto

Bumi Bukan Untuk Eksploitasi

Oleh: Agus Dian Zakaria S.E
(Penggiat Literasi)

TAHUKAH anda, hari ini kita sedang mengenang Hari Bumi yang jatuh setiap tanggal 22 April.

Sebagai planet tempat bernaungnya lebih dari 7 miliar manusia, bumi yang semakin sepuh semakin menunjukan keuzurannya. Baik dari fenomena alam maupun dari peradaban penghuninya. Tak terhitung bencana alam yang terjadi, belum lagi wabah virus kelangsungan hidup milyaran manusia.

Semakin masifnya korporasi dan sesaknya ruang hidup membuat permasalahan bumi semakin kompleks. Namun ada yang lebih alot dari semua fenomena yang ada. Yakni perdebatan panjang kelompok bumi bulat dan datar.

Perdebatan bentuk bumi, nampaknya semakin alot dan tidak berujung. dalam perkembangannya, Kedua kelompok antitesa  baik kaum bumi datar dan pro globalis semakin nyaman dalam perdebatan bentuk bumi. Kedua kelompok semakin memperkuat diri dalam mempertahankan teori dan keyakinannya. Meski bentuk bumi telah dibuktikan secara teoritis dan praktek oleh saintis, namun hal ini tidak menjadi alasan bagi kelompok bumi datar menerima hal tersebut.

Alhasil perdebatan panjang terus berkecamuk. Bahkan tak dipungkiri perdebatan dapat terjadi di tempat-tempat potensial terjadinya interaksi dalam kondisi dan situasi apapun.  Kedai kopi, stasiun kereta, bandara, di sekolah bahkan rumah ibadah dapat menjadi medan hangat terjadi gesekan perdebatan. Pelbagai platform linimasa tak jarang menjadi sarana adu argumen kedua kelompok antitesa ini. Facebook, twitter, grup WhatsApp menjadi medan pertempuran empuk kedua kelompok. Setidaknya Perdebatan panjang ini akan terus terjaga setidaknya dalam mempertahankan kepentingan satu sama lain.

Sejatinya, perdebatan bentuk bumi bukanlah hal baru, dalam propaganda dunia. Kepercayaan bahwa Bumi berbentuk datar merupakan ciri khas kosmologi kuno sampai sekitar abad keempat Sebelum Masehi (SM), ketika para filsuf Yunani kuno mulai berpendapat bahwa Bumi berbentuk bulat.

Mengutip dari laman wikipedia, Aristoteles adalah salah satu pemikir pertama yang mengajukan pendapat tentang Bumi bulat pada 330 SM. Menjelang awal Abad Pertengahan, pengetahuan bahwa Bumi itu bulat menyebar luas di seluruh Eropa.

Hipotesis modern yang mendukung teori Bumi datar dicetuskan oleh seorang penemu asal inggris, Samuel Rowbotham (1816–1884). Berdasarkan penafsirannya mengenai ayat-ayat tertentu di Alkitab, Rowbotham mempublikasikan sebuah pamflet 16 halaman, yang kemudian ia kembangkan menjadi sebuah buku setebal 430 halaman berjudul Earth Not a Globe, yang menguraikan pandangannya. Berdasarkan sistem Rowbotham, yang dia sebut "Astronomi Zetetis", bumi adalah sebuah cakram datar yang berpusat di Kutub utara dan dikelilingi oleh dinding es Antartika, sementara matahari dan bulan berjarak sekitar 4800 km (3000 mil) dan kosmos berjarak 5000 km (3100 mil) di atas bumi.

Pada 1956, Samuel Shenton mendirikan International Flat Earth Society sebagai organisasi penerus dari Universal Zetetic Society. Dia menjalankan organisasi ini dari kediamannya di Dover, Britania. Shenton lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dan teknologi alternatif sehingga pada organisasi ini, penekanan pada argumen keagamaan jauh berkurang dibanding pada organisasi pendahulunya. Tidak lama setelah pendirian Flat Earth Society, satelit buatan pertama berhasil diluncurkan. Foto-foto yang diambil oleh satelit di luar angkasa kemudian memperlihatkan bahwa bumi adalah bulat. Akan tetapi Flat Earth Society tetap meyakini bahwa bumi itu datar. Shenton mengatakan, "Mudah sekali melihat bahwa foto seperti itu dapat memperdayai mata yang tak terlatih.

Samuel Shenton berhasil menarik perhatian publik. Dia masuk New York Times pada Januari dan Juni 1964, ketika julukan "flat-earther" juga tergantung di lantai Dewan Rakyat Britania Raya di kedua arah.

Organisasi ini juga berpendapat bahwa pendaratan Apollo di bulan adalah palsu, dilakukan oleh Hollywood dan didasarkan pada naskah buatan Arthur C. Clarke.

Setelah sepeninggal, Shenton di tahun 1971 dan kemudian Charles K. Johnson mewarisi sebagian koleksi perpustakaan Shenton yang diberikan istri mendiang Shenton. Selanjutnya, Johnson mendirikan International Flat Earth Research Society of America and Covenant People's Church di California. Di bawah kepemimpinannya, selama lebih dari tiga dekade berikutnya, Flat Earth Society berkembang sampai mencapai sekitar 3000 anggota. Johnson mengedarkan buletin, pamflet, peta, dan berbagai materi promosi lainnya pada siapapun yang meminta. Ia mengelola semua permohonan keanggotaan bersama-sama dengan istrinya, Marjory, yang juga seorang flat-earther. Buletinnya yang paling terkenal adalah Flat Earth News, yang merupakan tabloid triwulanan setebal empat halaman. Johnson membiayai semua ini dari iuran tahunan anggota, yang berkisar dari USD 6 sampai USD 10 selama masa kepemimpinannya

Flat Earth Society mulai mengalami kemunduran pada tahun 1990-an, dan akhirnya Charles K. Johnson meninggal pada 19 Maret 2001. Setelah lama menghilang, akhirnya pada November 2010,  forum diskusi Flat Earh Society di jagad Maya kembali muncul. Sementara forum lainnya yang juga berkaitan. Flat Earth Society juga muncul di Twitter dan Facebook hingga saat ini.

Setelah munculnya kembali Earth Not a Globe, akhirnya perdebatan panjang yang sempat vakum kembali memenuhi platform jagat maya. Dan pada akhirnya kelompok bumi datar terus berjuang memperkuat bukti argumennya dalam berbagai cara. Di sisi lain, kelompok bumi bulat semakin kekeh dan tidak tinggal diam dalam menghadapi kebangkitan kelompok flat earth society di berbagai belahan dunia.

Meski dalam perdebatan panjang ini, kedua kelompok nyatanya tidak menghasilkan apa-apa selain bentuk sentimentil satu sama lain. Di sisi lain, bumi semakin tua terus diperkosa dan dikeruk oleh kaum kapitalis untuk memenuhi finansial.

Sayangnya, perdebatan bentuk bumi berhasil  dimanfaatkan para elit dengan baik, untuk semakin masif melakukan ekploitasi dan eksploitasi. Sejatinya, perdebatan bentuk bumi yang tidak berujung, semakin memperlihatkan bahwa bumi dan isinya semakin tua.

Bahkan, Bencana alam  yang terjadi hingga saat ini, hanya dianggap sebagai fenomena biasa tanpa mencari benang merahnya.

Terlepas dari perlakuan dan perdebatan manusia terhadap bumi. Kita hanyalah setitik debu yang kapan saja dapat dilenyapkan oleh alam pada saatnya nanti. Alih-alih mendapatkan kesimpulan dari perdebatan, kita justru jauh terperosok oleh kelamnya perbedaan yang memunculkan kebencian. Alhasil, kita tidak dapat lagi berbuat banyak, selain tetap terfokus menjaga alam dan menghentikan perdebatan gila ini. Mengingat bagaimana pun bentuk bumi saat ini, bumi tidak layak untuk terus dieksploitasi.

"Kalian terlalu sibuk memperdebatkan bentuk bumi sampai lupa Eksploitasi semakin menjadi-jadi."(*) 


0 Comments

leave a reply

Recent Posts

Hot News

Categories