Oleh : Fajar Mentari (Ketua Lembaga Nasional Pemantau dan Pemberdayaan Aset Negara Provinsi Kalimantan Utara)
Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan garda terdepan dalam melindungi kedaulatan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai bangsa Indonesia tentu bangga memiliki tentara-tentara yang tangguh dan selalu melindungi rakyatnya. Bravo TNI.
Cikal bakal terbentuknya TNI ini berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pada 23 Agustus 1945. TNI ini merupakan angkatan bersenjata Indonesia yang menjadi satuan keamanan dan penjaga kedaulatan.
Tugas dan fungsi TNI tentunya berperan besar dalam sistem pertahanan dan keamanan Negara. TNI terdiri dari Angkatan Darat (TNI-AD), Angkatan Laut (TNI-AL), dan Angkatan Udara (TNI-AU).
Menjadi prajurit TNI adalah idaman bagi banyak pemuda-pemudi di Indonesia, mereka berlomba-lomba ingin menjadi TNI karena bisa berjuang mempertahankan kedaulatan negara. Selain tampilannya yang gagah dan menjadi kebanggaan di tengah masyarakat. Persiapan gaji serta tunjangan tetap yang telah dijamin negara setiap bulannya juga turut menjadi salah satu alasan banyak orang ingin bergabung dengan pasukan pertahanan sebagai TNI.
Kendati demikian, menjadi bagian dari TNI memiliki konsekuensi yang mengikat dikarenakan tugasnya sebagai penjaga kedaulatan negara, salah satunya adalah terlibat dalam aktivitas bisnis.
Setelah disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, kegiatan bisnis (begitu juga dengan politik) menjadi kegiatan yang ilegal bagi TNI. Larangan prajurit TNI untuk memiliki atau menjalankan bisnis telah diatur dalam Pasal 39 ayat (3) dimana disebutkan setiap prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis.
Selain larangan berbisnis bagi TNI, larangan lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 34 tahun 2004 pada pasal 39 secara tegas menetapkan bahwa prajurit dilarang terlibat dalam :
(1) kegiatan menjadi anggota partai politik;
(2) kegiatan politik praktis;
(3) kegiatan bisnis; dan
(4) kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.
UU tersebut diperuntukan untuk personil TNI di semua matra yakni TNI-AD, TNI-AU, dan TNI-AL.
Dengan demikian, artinya dengan adanya larangan di dalam pasal 39 ayat (3) tersebut, jadi tentu sudah secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa anggota TNI selagi masih aktif, maka otomatis tidak diperkenankan untuk menjalankan aktivitas bisnis dan tidak boleh menjadi pengusaha.
Hal ini dilatarbelakangi lantaran peran dan fungsi TNI sebagai alat negara, yang bertugas melindungi bangsa dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), sehingga kegiatan sebagai pengusaha dikhawatirkan akan menimbulkan konflik kepentingan yang mengganggu profesionalisme jabatan dari anggota TNI aktif.
Dengan kata lain bahwa dengan pelarangan bisnis bagi prajurit dalam UU tersebut merupakan salah satu upaya dari reformasi sektor keamanan (RSK) yang bertujuan untuk menciptakan prajurit TNI yang profesional, dan akuntabel.
Salah satu agenda penting dan amanat besar reformasi sektor keamanan di Indonesia ialah menempatkan TNI sebagai alat utama sistem pertahanan dengan mendorong keluar militer (TNI) dari kegiatan berbisnis. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena
1) keistimewaan TNI dalam mengelola dan mencari sumber dana secara independen akan membuat TNI menjadi lembaga yang terlalu otonom, sehingga akan memperlemah kontrol pemerintah,
2) kegiatan berbisnis yang dilakukan TNI akan membuat lembaga tersebut tidak optimal dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk membela negara terhadap ancaman dari luar dan memperkuat keamanan, karena waktu dan tenaga mereka akan terbagi antara berbisnis dan bertugas, dan
3) kegiatan bisnis militer dalam beberapa kasus berpotensi melahirkan berbagai tindak kejahatan, korupsi dan pelanggaran HAM.
Lebih lanjut, selain mengatur tentang pelarangan berbisnis, UU tersebut juga mengatur tentang pengambil alihan bisnis yang dimiliki oleh TNI yang diatur dalam pasal 76 ayat 1 dan 2.
Prajurit TNI baru boleh menjalankan aktivitas bisnis apabila sudah tak lagi menjadi prajurit TNI, baik karena pensiun atau alasan lainnya.
Namun demikian, aturan tersebut tak berlaku untuk keluarga TNI. Hanya yang perlu digaris bawahi dan diingat bahwa kebebasan politik praktis dan kegiatan berbisnis keluarga TNI terlarang untuk menggunakan fasilitas dinas TNI.
TNI hanya boleh sebatas menjaga dan memberikan pengamanan atas perusahaan atau aset milik negara, objek vital nasional (Obvitnas), semisal PT. Pertamina.
PT. Pertamina dan TNI menjalin kerja sama strategis dalam penyelenggaraan pengamanan Obvitnas strategis, seperti Pertamina di seluruh Indonesia. Terlebih sebaran aset Pertamina di seluruh Indonesia cukup luas, dan tentunya aset tersebut juga berdampak positif bagi masyarakat. Sehingga TNI juga mempunyai kewajiban untuk mendukung dan membantu dalam menyukseskan setiap program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam berbagai bidang untuk kesejahteraan masyarakat. TNI sebagai komponen bangsa dibutuhkan untuk mendukung kebijakan pemerintah.
Besarnya wilayah kerja Pertamina di Indonesia, menjadi alasan akan pentingnya untuk mengamankan infrastruktur yang dimiliki oleh Pertamina. Pertamina perlu pengawalan dan pengamanan, karena semua Obvitnas adalah untuk masyarakat Indonesia. Pengamanan Obvitnas ini sangat penting dan merupakan bagian dari upaya Pertamina dalam menyediakan energi untuk masyarakat Indonesia dalam kondisi apapun.
Di luar aset vital negara, para personel TNI dilarang memberikan jasa pengamanan kepada perusahaan atau pengusaha. Anggota TNI dilarang jadi 'centeng' pengusaha, apalagi pada perusahaan milik swasta.
Meskipun dalam pasal 39 UU TNI secara gamblang dijelaskan tentang larangan berbisnis oleh TNI, namun demikian harus dipisahkan masalah perusahaan dengan personel yang masuk dalam suatu perusahaan. Memang menurut UU TNI itu tidak boleh, apalagi dengan jabatan struktural. Dan pembinaannya terkait itu ada di Panglima TNI.
Anggota TNI hanya boleh menjadi pejabat di badan-badan usaha milik negara, semisal posisi komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perkapalan itu boleh dijabat oleh prajurit TNI aktif. Yang diperbolehkan UU BUMN itu hanya jika sifatnya mewakili pemerintah atas nama negara. Seperti menjadi komisaris PT. PAL Indonesia (Persero), hal Ini demi melindungi aset negara.
Pasca reformasi TNI, yang dituangkan dalam UU No. 34 Th. 2004 tentang TNI pada pasal 76 juga disebutkan bahwa TNI dilarang melakukan kegiatan bisnis secara langsung. Sebagai usaha yang diizinkan untuk mengelola setiap kegiatan komersial yang dimiliki TNI adalah melalui koperasi atau yayasan. Jadi hanya koperasi dan yayasan sebagai badan usaha komersial yang diizinkan di TNI.
Sinyal positif yang ditunjukkan TNI bagi proses penertiban dan pengambil alihan bisnis TNI sesuai amanat pasal 76 UU No. 34 Th. 2004 tentang TNI. Kalau primer koperasi, 'bisnis' yang dilakukan benar-benar murni hanya menghimpun dana para anggotanya untuk dipakai memenuhi kebutuhan pokok atau keperluan simpan-pinjam.
Bentuk koperasi ini ada sampai tingkat kesatuan terbawah sehingga benar-benar berurusan dengan kesejahteraan prajurit TNI.
Sementara itu untuk bentuk Induk Koperasi (Inkop) maupun Pusat Koperasi (Puskop) dan juga yayasan, ketiganya diketahui berbisnis atau cari untung (profit seeking) di berbagai jenis sektor usaha, baik menyelenggarakan sendiri, bekerjasama dengan pihak ketiga, atau dalam bentuk penyertaan modal.
Sebagai warga negara, prajurit TNI memang berhak untuk berkoperasi, apalagi jika hal itu bertujuan menopang kebutuhan primer dan kesejahteraan prajurit TNI. Akan tetapi, prinsip agar TNI tidak berbisnis dan mencari keuntungan, sebagaimana telah diatur dalam UU TNI juga harus dipegang teguh.
Dalam hal tata kelola atau penataan koperasi, yayasan, dan pemanfaatan barang milik negara dilingkungan TNI, secara umum kedudukan koperasi tidak berstatus struktural, tetapi berada di luar struktur organisasi TNI dengan tugas pokok membina dan menunjang kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Pengelolaan kegiatan usaha koperasi dijabat oleh PNS TNI maupun tenaga profesional lainnya.
Ada 3 UU yang terkait dengan persoalan bisnis TNI, yaitu UU No. 34 Th. 2004 tentang TNI, UU Koperasi, dan UU Yayasan.
Agar TNI bersih dari isu yang miring, maka sesuai amanat UU No. 34 Th. 2004 tentang TNI, prajurit TNI aktif tidak boleh menjalankan bisnis baik secara langsung maupun tidak, termasuk menjadi pengurus koperasi dan yayasan, dengan kata lain tidak boleh ada kaitan struktural dengan TNI. Ini harus dilepaskan antara individu dan institusi. Prajurit TNI tidak bisa dipakai untuk mengurusi itu.
Fungsi pertahanan yang diemban oleh militer (TNI), apalagi tantangan global dalam menghadapi perang teknologi, asimetri, dan siber semakin nyata. Sehingga peran dan fungsi TNI haruslah dipertajam, mesti diperkuat. Kita mesti menyadari kedaulatan nasional kita acapkali terancam, kekayaan laut kita dijarah, tumpang tindih klaim wilayah NKRI oleh negara lain, serta kondisi alutsista yang masih tertinggal.
Pemenuhan kekuatan pokok minimum (minimum essential force), kesejahteraan prajurit, penegakan kedaulatan wilayah NKRI terutama di wilayah terdepan dan terluar, serta peningkatan kapasitas TNI dalam menghadapi perang asimetris adalah isu strategis dan utama yang mesti didorong.
Negara harus meningkatkan semangat profesionalitas TNI dan mendukung segala bentuk penguatan fungsi pertahanan dalam kerangka menegakkan kedaulatan NKRI dengan membatasinya dalam hal tidak menjadikan peran militer sebagai pengusaha atau pebisnis.
Yang terpenting sekarang adalah penguatan fungsi pertahanan dalam menjaga kedaulatan NKRI. Energi militer haruslah difokuskan sepenuhnya disana, tidak dengan membuat bias menjadikan militer memerankan fungsi pengusaha yang sifatnya profit oriented.
Rantai komando TNI harus ditegakkan. Hanya satu komando, tidak ke mana-mana, tegak lurus, loyalitas, ketaatan pada perintah Presiden sebagai Panglima Tertinggi Tentara Nasional Republik Indonesia.(*)
Tarakan, 25 September 2020
0 Comments