TARAKAN - Setelah vaksinasi mulai berjalan dan sudah disuntikan keoada sebagian pejabat daerah dan Tenaga Kesehatan. Kini program vaksinasi terus dijalankan dan akan disuntikan ke semua masyarakat secara bertahap.
Meski demikian, pro dan kontra terhadap vaksin sinovak di masyarakat semakin deras saja. Sehingga sebagian masyarakat mengkhawatirkan dengan banyaknya masyarakat yang tidak bersedia divaksin, memunculkan aturan tegas yang bersifat memaksa seluruh warga untuk divaksinasi.
Melihat fenomena tersebut, Pengamat sekaligus Akademisi Hukum Alif Arhanda Putra S.H, MH menuturkan, ia mengakui sejauh ini negara telah melaksanakan tanggung jawab untuk memberikan layanan terbaik kepada masyarakat. Selain itu, di sisi lain ia mengakui setiap warga negara juga memiliki hak dengan pilihannya.
"Kalau untuk menolak kan semua tergantung indovidu masing-masing. Tetapi, mungkin setiap negara ingin yang terbaik untuk masyarakatnya. Karena di salah satu cakupan di dalam Hak Asasi Manusia soal vaksinasi ini termasuk dalam hak kesehatan. Kalau kita bicara hak kesehatan kan ada berbagai macam, ada tentang perawatan kehamilan, dan juga kesehatan anak. Ini kan juga termasuk di dalam program keluarga berencana ada juga tentang imunisasi penyakit infeksi misalnya polio itu anak wajib mendapat imunisasi,"ujarnya,(16/1).
"Perawatan ini sudah termasuk dengan sarana dan prasarana rumah sakit. Ada juga ketersediaan obat-obatan penting. Selain itu, beberapa syarat. Salah satunya harus ada pendidikan masalah kesehatan dan pemerintah kan sudah memberikan itu. Sudah menjalankan kewajibannya,"sambungnya.
Meski demikian, jika di dalam kondisi tertentu banyak hak warga yang digunakan untuk menghalangi upaya negara dalam menuntaskan sebuah wabah, maka negara bisa saja mengambil tindakan tegas. Salah satunya ialah memberikan warga negara pilihan atas konsekuensi yang dipilihnya.
"Terkait dengan vaksinasi ini bisa saja masyarakat menolak. Tapi, setelah itu bisa saja negara tidak bertanggung jawab untuk hal-hal yang terjadi setelah proses vaksinasi. Misalnya, salah satu orang menolak untuk divaksin saat tiba waktunya, bisa saja negara memberikan surat pernyataan untuk diisi dan ditandatangani bahwa semua hal yang terjadi setelah proses vaksinasi ini yang berhubungan dengan covid-19, maka hal itu diluar tanggung jawab pemerintah. Misalnya seorang yang tidak mau vaksin kemudian terkena covid-19 dikemudian hari, biaya pengobatannya tidak lagi mendapat tanggungan pemerintah dan jaminan kesehatan lainnya. Artinya, dia harus menanggung sendiri biayanya di rumah sakit,"terangnya.
Selain itu, menurutnya negara bisa sah-sah jika harus menerapkan aturan yang bersifat memaksa. Mengingat sejauh ini negara telah berupaya keras dalam menjalankan tahapan-tahapan penangganan. Sehingga negara memiliki tanggung jawab melanjutkan upaya tersebut meski dengan cara yang menimbulkan pro dan kontra.
"Kalau pun pemerintah menggunakan cara aturan yang memaksa agar masyarakat harus bersedia (divaksin), tentu sah saja. Karena sejauh ini tahap penangganan covid juga sebelumnya dibuatkan regulasi khusus. Seperti misalnya PSBB. Misalnya dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019, dan tanggungan biaya perawatan covid-19. Jadi sah-sah saja jika pemerintah misalnya membuat aturan yang sifatnya memaksa karena sejauh ini negara sudah menjalankan tanggung jawabnya melindungi warga negara,"tuturnya.
Lanjutnya, saat ini upaya negara masih berpayung pada UU kekarantinaan dengan menanggani pandemi covid-19. Sehingga, jika diperlukan negara bisa saja bersikap keras jika dalam hal ini terdapat kelompok yang mempolitisasi upaya pemerintah menanggani covid-19.
"Kita kan punya undang-undang terhadap kekarantinaan wilayah. Salah satu cara pemerintah adalah melakukan vaksinasi untuk mengatasi hal itu. Dalam kondisi darurat wabah, pemerintah bisa membuat aturan memaksa jika memang diperlukan,"
"UU no 6 tahun 2018 mengamanatkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan melalui penyelenggaraan kekarantinaan masyarakat,"pungkasnya.(*)
0 Comments